Sudah selesai pandemi, insya Allah masuk endemi. Semoga Indonesia tidak resesi. Walau Pak De dan Bu Menteri sudah proyeksi.
Akhirnya mulai nulis lagi. Karena sudah mulai lega- menyelesaikan apa yg sudah dimula-i.
Yes, 2 tahun ini ngerasa jungkir balik. Semenjak pandemi. Dimulai dari euforia pivat-pivot, kolab sampai jadi 5 bisnis baru~ mungkin temen2 inget istilah DEPOCK (DElivery-Primary-Online-lOcal-Kolaborasi)~ yg gw perkenalkan untuk survive di bisnis saat pandemi awal jilid 1 haha..
Apa aja 5 bisnis baru waktu itu? Ada spoilnya di bawah, mungkin detailnya di tulisan lain, yang jelas banyak yg sudah ditutup, di-merge, atau dilanjutkan sama partner. Saat ini hanya handle Ranum dan Hydromart. Sisanya hanya sebagai komisaris dan investor pasif.
Kenapa saya kasih judul kesalahan terbesar? Padahal udah 10 tahun bisnis sejak 2012 habis resign kerja? Mungkin karena kalau dulu banyak ngelakuin kesalahan di awal bisnis sebab minim ilmu dan pengalaman. Kalau sekarang harusnya udah lebih faham, jadi seharusnya bukan kesalahan tapi keDUNGU-an, pinjem istilah Bung Rocky, karena bisa jadi punya ilmunya, tapi ga pakai akal sehat dan waras.
Kenapa sekarang baru nulis? Karena udah lebih plong. Tahun lalu rungsing banget. Gelajanya adalah: kepala jadi makin pening, ngerasa sibuk ga tentu arah, nge-jalanin bisnis terasa jadi berat banget. Belum pernah ngerasa gini sebelumnya.
Setelah refleksi, diskusi, akhirnya gw menertawakan kesalahan sendiri. Akarnya adalah TIDAK FOKUS, sebabnya ada TIGA, nanti gw jelasin lebih detail.
Semoga ini bisa jadi pembelajaran buat semua, biar ga perlu mengulangi kesalahan senilai ratusan juta rupiah, yg saya rasa ini adalah kesalahan terbodoh (DUNGU) yang gw lakuin di 10 tahun terakhir dalam bisnis.
Yuks langsung cuuss..
I. SEBAB – MUSABAB KESALAHAN
Sebelum masuk TIGA TURUNAN dari sebab TIDAK FOKUS-nya gw, gw harus underline bahwa Bisnis yang gw buat pas pendemi semua berbasis Kolaborasi, ga ada yg mulai dari nol. Ada Lima, yes Lima! Total jadi 6 sama bisnis utama.
Kenapa? Karena bisnis utama dan satu-satunya saat itu, Souvia (Souvenir Indonesia) – Corporate Souvenir Provider, kehantam Corona. Omzet sisa 20%, dan mengharuskan layoff belasan karyawan.
Gw mikir saat itu: angin ga mungkin masih berhembus di Souvia, dan ga tau sampai kapan Corona. Ga ada seminar, gathering dan dilarang buat event pada umumnya, mostly kantor dan instansi WFH, yg akhirnya minim banget orderan souvenir.
Akhirnya gw mulai set-up bisnis lainnya dengan berkolaborasi: Toko Buah, Fashion Muslimah Jaringan, Depot Air, Olahan Buah, Media Properti- selain Souvia itu sendiri. Silahkan tertawa buat yg udah pernah ngalamin atau pernah merasa nasihatin wkwk.
Walaupun gw percaya ga ada yg namanya sia-sia, karena selalu ada hikmahnya, tapi kalau bisa langsung ngambil hikmahnya kan lebih enak. Gw sebut sebagai mistakes karena:
1) Ini ngeluarin “cuan” yang ga sedikit (3 digit) yang bisa banget gw jadiin “saving” tapi malah menguap dalam waktu cepat.
2) Ini bisa menghemat waktu gw untuk ngerjain hal-hal yg lebih penting dalam hidup, tapi nambah beban pikiran buat kesalahan ini.
3) Sebenernya ini perasaan gw doang si, khawatirnya kolaborasi kemarin meninggalkan bekas yang kurang baik bagi kolaborator, walaupun pada akhirnya yg di settle-down based on kesepakatan bersama.
II. TIGA KESALAHAN UTAMA
Yuks langsung aja, APA 3 Kesalahan gw hehe:
1 . MERASA JUMAWA
Yes, ngerasa ada uang di tabungan, ngerasa sombong karena berkolaborasi sama beberapa orang, yang bahkan udah ada di bidang bisnis tersebut cukup lama, ngerasa punya cukup banyak ilmu dan resources untuk bangun bisnis baru, padahal tetap butuh tahapan dalam keberhasilan bisnis yang saya bisa share di point kedua.
2. BODOH – KURANG WARAS
Bodoh padahal tau ilmunya, itu namanya kurang waras hehe. Padahal “tahu” bahwa kita berbisnis melalui tahap pembentukan tim (formasi), validasi bisnis model sampai akhirnya ketemu yang pas untuk scale up. And it takes time.
Souvia butuh waktu sekitar 3 tahun buat nemu bisnis model yang pas: Corporate Souvenir Provider. Sebelumnya nama usahanya SIAGA (SI Ahsan Ga*teng), main di printing, percetakan, digital printing, konveksi dll. Palugada, ga jelas produk dan marketnya, sampai ngunci di Corporate. Valuenya akhirnya terkristal: Trusted – harus lengkap aspek legalnya, respon yang cepat dan marketing channel yang pas.
Secara tahapan bisnis, mesti lewatin (1) Tahapan Bisnis-Founder Fit, (2) Problem Solution Fit yang tervalidasi empathy map design thinking-nya, baru (3) Develop Produk-Market Fit yang juga harus teruji dengan produk winningnya dan terus menurus akuisisi market, penetrasi dan memanage customer “A”-nya.
Bodohnya, satu saja belum selesai tahapannya, sudah kolab bikin bisnis yang lain. Mending kalau ambil franchise yang itupun ga menjamin karena kita lihat banyak fenomena franchise yang tutup.
3. TERGESA-GESA
Karena akumulasi poin 1 dan 2, akhirnya terjadilah poin 3. Tergesa-gesa. Kurang perencanaan. Kurang riset. Hanya ambil 2 prinsip dari mas Indrawan: Thing Big dan Move Fastnya, tapi lupa prinsip Start Small-nya. Bagaimana akhirnya, gw udah share akhir kisah pahitnya.
Bisa jadi ini terlihat blaming/excuse, tapi jujur, saya tipe Intuiting Extrovert yang bergerak intuitif berdasarkan konsep dan rada eksplosif. Jadi ceritanya gw mengidolakan salah satu pebisnis, masih muda, dan punya puluhan brand, 40 sampai 60 brand katanya. Pun mentor gw di TDA, juga sempet share yang namanya strategi holding, akhirnya gw tergerak-lah melakukan hal yang sama.
Oke, biar jadinya ga curhat doang dan ada isinya, gw share sedikit takeaways buat temen2 yang udah ada di fase “pengembangan bisnis” (artinya bisnis sebelumnya udah lewat Product Market Fit – PMF), bisa kita pakai Ansoff Matrix.
Apa tandanya udah PMF? Minimal ini tandanya (in my humble opinion):
- Udah punya basis pelanggan yg clear “Profile/Persona”-nya yg qt bisa ukur ARPU (Average Revenue Per User) dan CLV (Customer Lifetime Value-nya)
- Cuan Tanpa iklan karena referal organik udah berjalan dan repeat order berkontribusi minimal di 30% Revenue.
- Kalau secara tahun, minimal udah 5 tahun lah ya dibisnis (bisa berbeda tergantung bisnisnya)
- Kalau secara omzet, kira2 di atas 10 M per tahun. (bisa berbeda tergantung bisnisnya)
Nah, hubungan sama Ansoff Matrix gmn terkait kesalahan gw itu. Gw share dulu diagramnya ya.
Jadi tahapan ngembangin bisnis itu ada 4 level dimulai dari:
- MARKET PENETRATION (Market Existing + Produk Existing)
Udah 100 juta per bulan di bisnis-nya? Jangan langsung buka cabang, atau bikin bisnis yang lain. Sabar, masih bisa optimalin banyak hal, di antaranya:
- Tingkatin Frekuensi pembelian dari pelanggan yg sudah ada, misal dengan loyalty program untuk member dll
- Tingkatin ARPU atau Basket Size setiap transaksi dengan cross-sale dan up sale
- Management Customer Exisiting yang fokus ke Customer A dan B-nya, misalnya reminder belanja, CRM, dll
- Menyempurnakan produk agar semakin menarik dan makin loyal
- Promosi dan Akuisisi Customer baru di persona yg sama, misal diskon untuk pelanggan baru, paket sekeluarga (contohnya paket data XL untuk sekeluarga), dan penawaran menarik lainnya. Bisa dengan iklan/ads, endorse, referal program dll
- Nambahin budget ads / marketing, sepeprti di souvia, yg awalnya hanya 50rb sehari, naikk jadi ratusan ribu sehari dan sekarang x per hari. Diukur penambahannya pelan-pelan, ada titik dimana nambah budgett ads winning ga ngaruh ke Sales.
- Akusisi Pesaing/Kompetitor. (Ini gw baca dari referensi, kayaknya rada ga relevan buat SME’s)
Sudahkah kita melakukannya? Kalau belum yuks kita lakuin dulu. Level 1 ini resikonya paling kecil.
- MARKET DEVELOPMENT (Produk Existing + New Market)
Udah 300 juta per bulan? Tenang dulu, jangan langsung merasa pintar dan ingin buka bisnis lain. Lakuin level 1 lebih bersistem, dan kita masuk ke level 2: Pengembangan Market. Produk dan Layanan tetep sama, tapi kita coba grab pasar baru atau pasar yang lebih luas.
Ini contoh cara-cara yang bisa dilakuin (jangan lupa yg di level 1 tetep dilakuin):
- Coba luasin pasarnya, misal kalau nambah titik, nambah oulet lintas geografi, geografi yang dilayani di perluas misal tadinya iklan di jawa aja jadi seluruh Indonesia.
- Coba channel distribusi dan promosi yang lain. Misal tadinya cuma di IG, nambah di tiktok. Tadinya google ads aja buat B2B, nambah Sales Canvasing, atau daftar E-Catalog. Buat titik distribusi/gudang/pengiriman yang baru.
- Coba segment customer yang baru. Misal coba-coba tes iklan dengan point of view segmen yg digeser dikit. Misal kalau bikin edukasi/produk untuk remaja, bisa jadi ortunya bisa juga diiklanin. Atau dari Retail coba masuk pasar B2B, Reseller atau Grosir.. bisa jadi perlu ngatur skema pricing atau positioning brand baru.
Udah ngelakuin? Udah sih, sayangnya gw ga sabaran..
- PRODUCT DEVELOPMENT (Market Existing + New Product)
Udah 300-500 juta per bulan? Cek dulu, apa one season wonder atau udah berkali-kali, bahkan yearly rerata udah segitu atau belum. Jangan sampai jumawa, udah coba ngelakuin strategi ini belum? Jangan lupa level 1 dan 2 ga berenti dimainkan.
- Tawarin produk baru periodically ke pelanggan exisiting yang udah semakin membesar hasil di level 1 dan 2. Contoh, Kopi Kenangan ngeluarin Cerita Roti atau Kopi Tuku bikin varian makanan rice bowl
- Bikin kategori produk : mana produk penetrasi, mana produk unggulan dan mana produk pelengkap, di review terus produk management dan performanya
- Bikin schedule untuk riset dan pengembangan produk, misal bikin model/varian baru setiap 1 bulan sekali, libatkan pelanggan untuk develop produk barunya. Bahkan bisa di buat limited sesekali
- Bisa Co-Branding, misal kemarin liat button scarve co-branding dengan Disney atau Souvia dengan Bumi Adonara Tenun NTT
Tantangannya mungkin di development produknya, yang harus alokasi juga resources untuk RnD, tapi karena produk juga ada lifecycle-nya jadi emang harus dilakukan. Karena bisa jadi produk yg dikembangkan yg mengantar kepada positioning brand tertentu yg lebih melejit dibanding MVP awal. Misal: Ada Kafe lumayan populer di Bogor namanya Kopi Nako, dulu kalau ga salah kuat di produk nasi dan turunan anak muda, sekarang bener2 kuat di Kopinya untuk kongkow anak muda.
- DIVERSIFIKASI BISNIS (New Market + New Product)
Bahasa gampangnya bikin bisnis atau unit bisnis yang baru. Ini sebenernya langkah terakhir dalam pengembangan bisnis, yang kalau di tiga level sebelumnya sudah achieve 10M setahun. Saran saya untuk level 4 ini tidak mulai dari nol, bisa dengan strategi joint venture, merger atau akuisisi. Sisihkan modal kerja dari perusahaan sebelumnya dan buat neraca di perusahaan yang terpisah. Runaway 3-6 bulan dan harus bisa lepas landas.
Nah, sayangnya kesalahan yang saya lakukan di bisnis banyak loncat dari level 1 langsung ke level 4. Ngelakuin Level 2 dan 3 tapi ga dibuat sistem dan ga sabar, seringkali malah jadi diversifikasi bisnis di level 4. Detailnya coba saya summary sekalian tahap perjalanan bangun Souvia ya sesuai tahapannya.
Nah, kalau di summary mungkin ini tahapannya waktu dulu ngebangun Souvia:
- Mulai nyoba2 bisnis souvenir pas Mahasiswa semester 5 bareng temen: bikin pin, mug dan gantungan kunci. (sekitar 2008)
- 2012 Mulai Bisnis setelah resign dari Toyota-TMMIN. Tahap Bisnis-Founder Fit rada dilewat yang penting cuan, bikin fotokopi, printing, percetakan palugada.
- 2014 tutup, mulai mikirin value dan ceruk pasar tertentu. Lahirlah layanan seminar kit. Siaga Souvenir dan Merchandise. Tahap Problem-Solution Fit dilakukan.
- 2015 Coba set up produk dan di tes ke market dengan SEO. Alhamdulillah pas, ada kebutuhannya – Tahap Produk – Market Fit diuji. Waktu itu jadi 21 paket produk seminar kita yang diuji ke pasar.
- 2016 onward terus perbaikan produk dan penetrasi market (level 1). Perbaiki produk jahit, kualitas sablon, perbaikan vendor, nambah bikin artikel lebih banyak buat SEO on page, belajar SEO off Page, kuatin CS.
- 2017 onward, masuk level 2 dan level 3. Nambah channel marketing via Google Ads (Market Development), bagusin website, produk baru di bikin terus buat katalog update, dari cuma 21 paket dan puluhan SKU, sekarang udah ratusan SKU (Product Development). Rapihin legal biar pede masuk-masuk ke bagian purchasing, rapihin sistem dll.
Nah di titik ini sekitar tahun2 itu, gw malah develop souvenir macem2, mulai dari pabrik plakat, pabrik pin dan gantungan kunci, souvenir ultah anak, souvenir nikah, retail fashion dll. Gw fikir masih relate ke Level 2 dan 3, ternyata SALAH, itu bagian dari “Diversifikasi yang Terkait”. Marketnya mesti baru terutama Souvenir Ultah Anak dan Souvenir Wedding. Pun begitu dengan produknya walaupun misalkan kita bisa buat seperti goodiebag dll, tapi pricing dan tekniknya sangat berbeda dari produk sebelumnya di souvenir corporate.
Waktu itu rada santai ngelakuin level 4 karena ekonomi terus grow di tahun2 tersebut, jadi ngelakuin startegi diversifikasi dengan tim kecil dan tes modal kerja kecil jadi ga masalah. Tantangannya adalah ketika Negara Api Menyerang – Corona. Ekonomi Lesu, bahkan jarang banget event yg butuh souvenir. Pondasi belum kuat dan akhirnya Souvia jadi kalang kabut. Daripada nunggu atau hibernasi yg belum jelas selesainya kapan, kami coba berbagai aksi. Dan hasilnya seperti di awal cerita.
Bang, gmn kalau gw udah stuck ngelakuin level 1 ga naik omsetnya, atau ngelakuin level 2 dan 3 juga ga nambah2 pertumbuhannya? Tetep aja, ga boleh langsung ke level-4. Gw percaya bukan salah di bisnis apa yang dipilih, tapi bisa jadi tahapan tadi ada yg belum selesai, bisa jadi bisnis-founder fit, atau problem-solution fit, atau product market fit. Mesti diotak atik lagi bisnis modelnya, marketnya atau produknya. Misalkan masih keukeuh ngeyel kayak gw, bang ini dari awal udah ga cocok nih gw sama bisnisnya, ga bisnis-founder fit. Yaudah simpel, kalau belum menghasilkan, matiin aja bisnis lamanya, atau make sure ada yang bisa jalanin as a CEO, bisa ga gajinya, atau menarik ga bagi hasilnya? :). Oke udah dulu, nanti kepanjangan, gw akhiri dulu study case di Souvia ya.
- Sampai tahun 2022 ini, Alhamdulillah Allah mudahkan, saat saya merintis bisnis baru di Ranum dan Hydromart, Souvia sudah memiliki BOD, 2 di antaranya merintis dari awal di Souvia, ada yang sudah join bahkan dari 2015, magang, jadi pegawai, naik jadi manager dan saat ini di BOD. Ada yang terakselerasi by momentum, 2 tahun lebih udah jadi BOD. Satu lagi yang pro hire karena sebelumnya jadi konsultan di 2018 dan jadi CEO. Terima kasih Gugi Yogaswara, Herisdiana dan Lutfi Ilham Pradipta atas kerjasamanya. Mari buat Souvia to The Next Level until become #1 Corporate Souvenir in Indonesia. Belum kebayang bisnis modelnya, tapi yang penting semangatnya dulu hehe.
So, Bang Ahsan udah ga mau kolab bisnis lagi, Bang? Wait, gw masih ngurus bayi. Ranum dan Hydromart Bogor. Ga akan mau diajak bisnis dulu, sampai bisnis Ranum ada yg handle atau stabil terus positif. Pun kalau ada peluang bisnis baru, ga mau terlibat lagi di tataran operasional, karena faktor usia dan tipe personality gw yang ga cocok. Alhamdulillah bisa support sebagai investor pasif di beberapa bisnis temen. Dan kayaknya arah geraknya ke sana game-nya gw.
Sekarang mau fokus dulu ngonten & berbagi tulisan lagi, sekaligus memperbaiki diri, dan benerin bisnis yang masih berdiri. Semoga Allah memberi kemudahan untuk para pejuang bisnis dan timnya menghadapi berbagai tantangan, termasuk krisis atau resesi jikapun terjadi.
2 comments
Mas ahsan, nuhun ini artikelnya bermanfaat sekali.
Btw, baru tau ternyata SIAGA itu singkatannya seperti itu hehe,
Sehat sehat selalu ya mas dan keluarga🙏
Apa kabar Ranuuu, tengkyu yaa udah mampir di web ini hihi